Senin, 15 Desember 2014

Akuntansi Keprilakuan : Birokrasi dan Profesionalisme

TUGAS KELOMPOK
Akuntansi Keprilakuan

“  BIROKRASI DAN PROFESIONAL “


Di Susun Oleh :

1)    Lily Suyatmi                              ( 2011.35.1531 )
2)    Muti Sasnita                             ( 2011.35.1491 )
3)    Yusnia Pohan                            ( 2011.35.1484 )
4)    Yuniasih Solifah                       ( 2011.35.1805 )

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan
Jakarta
2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .....................................................................................................................  ii
BAB 1        PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1     Latar Belakang....................................................................................... 1
BAB II       PEMBAHASAN ...............................................................................................  6
                   2.1 Pengertian Birokrasi dan Profesional .........................................................  3
                         2.1.1 Birokrasi .........................................................................................  3
                         2.1.2 Profesional .....................................................................................  4
                  2.2 Karekteristik Ideal Birokrasi .......................................................................  5
                  2.3 Konsep Perilaku Birokrasi........................................................................... 6
                  2.4 Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional dalam Pelayanan Publik........... 7
                  2.5 Pelayanan Birokrasi yang Profesional........................................................... 8
                  2.6 Peranan Birokrasi dalam Pelayanan Publik................................................. 11
                  2.7 Langkah Menuju Reformasi Birokrasi ........................................................ 12

BAB III      KESIMPULAN................................................................................................. 13

DAFTAR BACAAN........................................................................................................... 14




BIROKRASI DAN PROFESIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Berbicara tentang birokrasi pastilah kita akan dihadapkan pada suatu organisasi yang sangat formalistis , terstruktur dengan kaku dan hierarki kewenangan yang bertumpuk. Birokrasi merupakan salah satu lembaga pemerintah tertua dalam sejarah peradaban sosial. Hal tersebut dimulai sekitar 10.000M tahun yang lalu dari susa kuno yang merupakan salah satu daerah di Iran. Selanjutnya, birokrasi berkembang di dunia antara lain Persia kuno, China, Mesir dan kemudian ke Romawi. Pada awal perkembangannya birokrasi lebih banyak berperan sebagai alat kekuasaan, pelaksanaan pekerjaan publik, perencanaan dan pelaksanaan karya monumental seperti Terusan Suez, Tembok China dan Piramida. Namun sejarah juga telah mencatat birokrasi sebagai alat mensejahterakan masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah, birokrasi selalu memiliki posisi yang sangat strategis serta memiiki kekuatan besar dalam menentukan pencapaian tujuan tersebut yang tidak dapat terlepas dari peran birokrasi sebagai administrators. Birokrasi merupakan lembaga yang membuat dan melaksanakan kebijakannya. Dengan demikian, birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus professional dan netral.
Professional birokrasi adalah setiap pelaksananya merupakan orang-orang ahli dalam bidangnya. Sedangkan netral adalah birokrasi tidak memihak kepada kekuasaan lainnya seperti politik, dan lainnya. Hal tersebut penting dilakukan karena birokrasi memiliki tugas memberikan pelayanan umum kepada seluruh masyrakat. Sehingga pelayanan diberikan tidak membeda-bedakan aliran politik, suku, agama, dan lain sebagainya. Pelayanan birokrasi seharusnya dilakukan secara prefosional. Hal ini penting karena pelayanan yang diberikan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan sarana dan prasarana, ketertiban dan keamanan, dan lain sebagainya.
Birokrasi memiliki informasi yang lebih dibandingkan dengan masyarakat, mengenai sistem-sistem di pemerintahan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang luas, sehingga penguasaan informasi yang luas yang mereka miliki mampu mempengaruhi tingkah laku masyarakat karena mereka memiliki nilai lebih yakni penguasaan informasi tersebut. Sehingga hal-hal tersebut mampu mempengaruhi birokrasi untuk bertindak di luar jalurnya.

Namun pada kenyataannya birokrasi yang dianalogikan pemerintah seringkali tidak efesien dan efektif. Sifat formalisasi yang tinggi pada birokrasi seringkali membuat birokrasi menjadi tidak efesien dan cenderung berbelit-belit. Padahal pemerintah sebagai organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut memiliki daya tanggap yang tinggi. Jumlah penduduk yang semakin besar dan kebutuhan yang semakin meningkat, semakin meningkatkan kerja birokrasi. Birokrasi tidak lagi boleh berkutat hanya pada pemenuhan prosedur formal dan segi legalitas semata. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang prima ,bermutu dan profesional kepada masyarakat.
Kualitas pelayanan publik saat ini masih belum memberikan kepuasan bagi masyarakat. Menurut Sri Juni Woro Astuti (2009) rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya profesionalisme birokrasi sehingga birokrasi tidak mampu memanfaatkan ruang diskresi yang seharusnya digunakan demi meningkatkan responsivitas terhadap tuntutan masyarakat. Rendahnya profesionalisme birokrasi dapat dilihat dari belum tertibnya administrasi dan data base kependudukan, rendahnya kualitas pelayanan publik terutama untuk pelayanan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
            Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, maupun tampil profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Birokrasi dan Professional
2.1.1 Birokrasi
Secara etimologi istilah birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Perancis) yang berarti “meja tulis” dan Kratos (bahasa Yunani) yang berarti “pemerintahan”. Kantor disini bukan menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah system kerja yang berada dalam kantor tersebut.
Dalam kamus bahasa jerman arti kata birokrasi adalah kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan dalam menentukan kebijakan system administrasi sipil dalam kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan pejabat dalam administrasi pemerintah.
Dapat dipahami bahwa birokrasi adalah orang-orang yang bekerja di balik meja tulis di kantor-kantor. Dan pengertian tersebut kemudian semakin berkembang. Dalam kontek politik,  birokrasi diartikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut melalui serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang disesuaikan  dengan kondisi dan situasi tentang kasus yang dihadapi.
Menurut Max Weber birokrasi bersifat legal rasional. Sifat legal rasional digambarkan sebagai organisasi yang terstruktur rapih dan diatur oleh seperangkat aturan yang jelas dengan tujuan-tujuan rasional, seperti efesien dan efektif.  Birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan bentuk administrasi yang rasional karena birokrasi merupakan pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.
Birokrasi di maksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Dalam suatu rumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah “Tipe organisasi yang di pergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesiali-sasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah”.
      Adapun fungsi dan peran birokrasi pemerintah yakni:
1.  Melaksanakan pelayanan public
2.  Pelaksana pembangunan yang profesional
3.  Perencana, pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah)
4.  Alat pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netral)

Adapun tujuan birokrasi yakni:
1. Sejalan dengan tujuan pemerintahan
2. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan negara
3. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional
4. Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi dll.

2.1.2 Professional
Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan professionalisasi, Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, baik sebagai akibat perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu. Ketiga, memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit yang menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat, menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk akhir profesionalisme. 

2.2 Karekteristik Ideal Birokrasi
Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum. Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
1)    Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
     Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing sehingga tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

2)    Sistem peraturan (system of rules)
     Fungsi utama peraturan yang ditetapkan dalam sesebuah organisasi ialah untuk mempermudahkan standardisasi, dengan adanya proses ini banyak perkara diselesaikan secara seragam. Sebagai contohnya jika seseorang pekerja dikenakan potongan gaji sebagai hukuman kerana bercuti tanpa makluman pihak atasan, maka hukuman tersebut mestilah sama dengan pekerja lain yang melakukan kesalahan yang sama. Sistem peraturan yang distandarkan ini juga dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam menjalankan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda, dimana peraturan tersebut menentukan tanggungjawab, peranan dan bidang tugas bagi setiap anggota dan hubungan diantara mereka.  
3)    Adanya bidang kecekapan khusus
     Hal ini berkaitan dengan bidang kewajiban tugas yang ada pada seorang pekerja, tujuannya untuk menjalankan berbagai fungsi yang sistematik. Dalam menjalankan tugas, organisasi birokrasi membagikan kegiatan-kegiatan menjadi bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus dan berbeda dengan fungsi bagian lain. Sebagai contohnya dalam sesebuah organisasi, bagian kewangan secara khususnya berfungsi untuk membuat ramalan keperluan dana, mendapatkan dana untuk organisasi, menguruskan dana tersebut dan memastikan dana digunakan dengan cara terbaik, bagian sumber manusia pula fungsi khususnya ialah untuk melakukan pengambilan tenaga kerja, melaksanakan latihan dan pembangunan, membuat penilaian prestasi dan sebagainya lagi yang berkaitan dengan sumber manusia.
4)        Susunan jabatan berdasarkan prinsip hierarki (the principle of hierarchi)
       Setiap jabatan yang tingkatnya lebih rendah dalam hierarki adalah di bawah pengendalian dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Tujuannya untuk memastikan setiap jabatan dikendalikan secara sistematik oleh jabatan tertentu yang lain. Dalam hierarki itu setiap jabatan harus bertanggungjawab kepada atasannya berkenaan keputusan dan tindakannya sendiri ataupun apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, setiap jabatan memiliki hak memberi perintah dan arahan pada orang bawahannya, dan orang bawahan pula berkewajiban  untuk mematuhinya. Setiap keputusan dan tindakan yang dibuat oleh jabatan bawahan perlu meminta persetujuaan dari pada pihak atasan.
5)        Organisasi perulah bebas dari setiap pengendalian luaran, maksudnya dengan pengendalian luaran ini organisasi tidak dimonopoli oleh jabatan yang ada dalam organisasi tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kebebasan organisasi tersebut. sumber-sumber yang ada harus bebas untuk ditempatkan ditempat semula ke dalam jabatan-jabatan sesuai dengan keperluan organisasi. Dalam hal ini dapatlah disimpulkan bahawa jabatan tidak boleh memiliki organisasi secara rasmi.
6)        Rasionalitas dan Predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.
7)        Mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.

2.3 Konsep Perilaku Birokrasi
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya.
            Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi. Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.
Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins, 2003:31).  
            Organisasi birokrasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pelayanan dan perlindungan masyarakat mempunyai karakteristik adanya hirarki, tugas, wewenang, tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002). Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan pembangunan secara lancar dan penyelenggaraan pelayanan umum (masyarakat) dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.
            Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi tradisional (Parhusip, 2006). Ini dikarenakan : (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah (2) Peran birokrasi masih menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan buruknya penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.

2.4 Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional dalam Pelayanan Publik
            Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memperihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
 Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. 
            Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih bergaya hidup di dunia barat dari pada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi rasional di dalamnya.
            Menurut Islamy (1998:7), terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambahnya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
            Sehingga dalam hal ini organisasi birokrasi perlu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency). 
            Dengan demikian, manajemen strategi pelayanan publik yang profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan praktek-praktek birokrasi yang negative seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy) dari pada keuntungan yang diperolehnya, rendahnya inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi. 

2.5 Pelayanan Birokrasi yang Profesional
            Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
1.        Efisiensi : Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.

2.        Efektifitas : Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
3.        Membedakan milik pribadi dengan milik kantor : Nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
4.        Impersonal : Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat penghargaan.
5.        Merytal system : Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
6.        Responsible : Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
7.        Accountable : Nilai ini diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Jadi pemahaman akuntabilitas birokrasi adalah pertanggung jawaban kinerja birokrat dalam fungsinya yang sebenarnya dalam melakukan public service atau pelayanan publik dalam rangka pemenuhan data administratif masyarakat dimana birokrasi lepas dari kepentingan pribadinya dan hal-hal lainnya yang dapat menghalangi kelancaran pelayanan publik.
8.        Responsiveness : Kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.  Secara singkat juga berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat dan berusaha untuk memenuhinya. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
9.        Netralistas birokrasi : mencerminkan profesionalitas birokrasi. Karena birokrasi senantiasa terlibat dalam kegiatan sistem politik, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka akan ditemukannya penyelewengan-penyelewengan dalam kegiatan birokrasi. Penyelewengan tersebut akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, maka perlu dilakukan pembenahan dalam kinerja birokrasi, supaya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dapat dihilangkan. Proses bagaiamana mengatasi penyelewengan tersebut dikenal dengan istilah netralitas birokrasi. Upaya yang dapat dilakukan dalam menghilangkan penyelewengan para birokrat yang merugikan masyarakat.
            Selanjutnya menurut Widodo (2001:270-271), pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Ciri-cirinya yaitu:
1.    Efektif yakni lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2.    Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat pengguna layanan.
3.    Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
1.   prosedur tata cara pelayanan;
2.   persyaratan pelayanan, baik teknis maupun  persyaratan administratif;
3.   unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan,
4.   rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan
5.   jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
6.   Keterbukaan mengandung arti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
7.   Efisiensi mengandung arti:
1.    persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
2.    dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
3.    Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4.    Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani, dan
5.    Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.   
     
2.6 Peranan Birokrasi dalam Pelayanan Publik
       Budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya.
       Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
       Tetapi dalam hal ini birokrasi sering dipandang buruk, seperti birokrasi yang ada di Indonesia. Sehingga birokrasi di Indonesia perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
(a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
(b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat);
(c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan system dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
(d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan;
(e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
2.7 Langkah Menuju Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi yaitu :
1. Meluruskan orientasi, Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen, Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini persyaratan penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru, sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi, Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum, Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan
6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7.   Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:




BAB III
KESIMPULAN

            Birokrasi merupakan system pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah berlandaskan hierarki dan jenjang jabatan. Yag dimana tujuannya melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan negara, melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan professional,  menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, sinkronisasi dll.
            Birokrasi merupakan lembaga yang membuat dan melaksanakan kebijakannya harus profesional, sehingga mampu memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa membedakan aliran politik, suku, agama, dan lain sebagainya.
            Birokrasi dikatakan profesional apabila pelayanan publik memberikan tugas dan wewenannya dengan efisien, efektif, reponsible (bersikap adil, tidak membeda – bedakan klien) dan memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik.