TUGAS KELOMPOK
Akuntansi Keprilakuan
“ BIROKRASI DAN PROFESIONAL “
Di Susun Oleh :
1)
Lily Suyatmi ( 2011.35.1531 )
2)
Muti Sasnita ( 2011.35.1491 )
3)
Yusnia Pohan ( 2011.35.1484 )
4)
Yuniasih Solifah ( 2011.35.1805 )
Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Ahmad Dahlan
Jakarta
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ..................................................................................................................... ii
BAB
1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang.......................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN ............................................................................................... 6
2.1 Pengertian Birokrasi dan
Profesional ......................................................... 3
2.1.1 Birokrasi ......................................................................................... 3
2.1.2 Profesional ..................................................................................... 4
2.2 Karekteristik Ideal
Birokrasi ....................................................................... 5
2.3 Konsep Perilaku Birokrasi...........................................................................
6
2.4 Pentingnya
Manajemen Birokrasi Profesional dalam Pelayanan Publik........... 7
2.5 Pelayanan
Birokrasi yang Profesional........................................................... 8
2.6 Peranan Birokrasi dalam
Pelayanan Publik................................................. 11
2.7 Langkah Menuju Reformasi
Birokrasi ........................................................ 12
BAB
III KESIMPULAN................................................................................................. 13
DAFTAR
BACAAN........................................................................................................... 14
BIROKRASI
DAN PROFESIONALISME
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara tentang
birokrasi pastilah kita akan dihadapkan pada suatu organisasi yang sangat
formalistis , terstruktur dengan kaku dan hierarki kewenangan yang bertumpuk. Birokrasi
merupakan salah satu lembaga pemerintah tertua dalam sejarah peradaban sosial.
Hal tersebut dimulai sekitar 10.000M tahun yang lalu dari susa kuno yang
merupakan salah satu daerah di Iran. Selanjutnya, birokrasi berkembang di dunia
antara lain Persia kuno, China, Mesir dan kemudian ke Romawi. Pada awal
perkembangannya birokrasi lebih banyak berperan sebagai alat kekuasaan,
pelaksanaan pekerjaan publik, perencanaan dan pelaksanaan karya monumental
seperti Terusan Suez, Tembok China dan Piramida. Namun sejarah juga telah
mencatat birokrasi sebagai alat mensejahterakan masyarakat.
Dalam perjalanan
sejarah, birokrasi selalu memiliki posisi yang sangat strategis serta memiiki
kekuatan besar dalam menentukan pencapaian tujuan tersebut yang tidak dapat
terlepas dari peran birokrasi sebagai administrators. Birokrasi merupakan
lembaga yang membuat dan melaksanakan kebijakannya. Dengan demikian, birokrasi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus professional dan netral.
Professional
birokrasi adalah setiap pelaksananya merupakan orang-orang ahli dalam
bidangnya. Sedangkan netral adalah birokrasi tidak memihak kepada kekuasaan
lainnya seperti politik, dan lainnya. Hal tersebut penting dilakukan karena
birokrasi memiliki tugas memberikan pelayanan umum kepada seluruh masyrakat.
Sehingga pelayanan diberikan tidak membeda-bedakan aliran politik, suku, agama,
dan lain sebagainya. Pelayanan birokrasi seharusnya dilakukan secara
prefosional. Hal ini penting karena pelayanan yang diberikan meliputi seluruh
bidang kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan sarana
dan prasarana, ketertiban dan keamanan, dan lain sebagainya.
Birokrasi memiliki
informasi yang lebih dibandingkan dengan masyarakat, mengenai sistem-sistem di
pemerintahan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang
luas, sehingga penguasaan informasi yang luas yang mereka miliki mampu
mempengaruhi tingkah laku masyarakat karena mereka memiliki nilai lebih yakni
penguasaan informasi tersebut. Sehingga hal-hal tersebut mampu mempengaruhi
birokrasi untuk bertindak di luar jalurnya.
Namun pada
kenyataannya birokrasi yang dianalogikan pemerintah seringkali tidak efesien
dan efektif. Sifat formalisasi yang tinggi pada birokrasi seringkali membuat
birokrasi menjadi tidak efesien dan cenderung berbelit-belit. Padahal
pemerintah sebagai organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat
dituntut memiliki daya tanggap yang tinggi. Jumlah penduduk yang semakin besar
dan kebutuhan yang semakin meningkat, semakin meningkatkan kerja birokrasi.
Birokrasi tidak lagi boleh berkutat hanya pada pemenuhan prosedur formal dan
segi legalitas semata. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang prima
,bermutu dan profesional kepada masyarakat.
Kualitas pelayanan
publik saat ini masih belum memberikan kepuasan bagi masyarakat. Menurut Sri
Juni Woro Astuti (2009) rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain
disebabkan oleh masih rendahnya profesionalisme birokrasi sehingga birokrasi
tidak mampu memanfaatkan ruang diskresi yang seharusnya digunakan demi
meningkatkan responsivitas terhadap tuntutan masyarakat. Rendahnya
profesionalisme birokrasi dapat dilihat dari belum tertibnya administrasi dan
data base kependudukan, rendahnya kualitas pelayanan publik terutama untuk
pelayanan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Birokrasi
yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain
karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu
menampilkan perfomance yang baik, maupun tampil profesional dalam melaksanakan
pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada
di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat
terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak
menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan
paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang
memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih
kreatif, inovatif dan profesional.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Birokrasi dan Professional
2.1.1
Birokrasi
Secara
etimologi istilah birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Perancis) yang berarti “meja tulis” dan Kratos (bahasa Yunani) yang berarti
“pemerintahan”. Kantor disini bukan menunjukan sebuah tempat
melainkan pada sebuah system kerja yang berada dalam kantor tersebut.
Dalam
kamus bahasa jerman arti kata birokrasi adalah kekuasaan dari berbagai
departemen pemerintahan dalam menentukan kebijakan system administrasi sipil
dalam kewarganegaraan. Dalam kamus besar bahasa Italia adalah kekuasaan pejabat
dalam administrasi pemerintah.
Dapat
dipahami bahwa birokrasi adalah orang-orang yang bekerja di balik meja tulis di
kantor-kantor. Dan pengertian tersebut kemudian semakin berkembang. Dalam
kontek politik, birokrasi diartikan
sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakan tersebut melalui serangkaian tahapan atau biro-biro yang
masing-masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi tentang kasus yang dihadapi.
Menurut
Max Weber birokrasi bersifat legal rasional. Sifat legal rasional digambarkan
sebagai organisasi yang terstruktur rapih dan diatur oleh seperangkat aturan
yang jelas dengan tujuan-tujuan rasional, seperti efesien dan efektif. Birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi
yang tinggi dan bentuk administrasi yang rasional karena birokrasi merupakan
pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.
Birokrasi di maksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Dalam suatu
rumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah “Tipe organisasi yang di
pergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesiali-sasi,
dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah”.
Adapun
fungsi dan peran birokrasi pemerintah yakni:
1. Melaksanakan
pelayanan public
2. Pelaksana
pembangunan yang profesional
3. Perencana,
pelaksanaan, dan pengawas kebijakan (manajemen pemerintah)
4. Alat
pemerintah untuk melayani kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral
dan bukan bukan merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netral)
Adapun tujuan birokrasi
yakni:
1. Sejalan
dengan tujuan pemerintahan
2. Melaksanakan
kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan negara
3. Melayani
masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan profesional
4. Menjalankan
manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi,
koordinasi, sinkronisasi dll.
2.1.2 Professional
Menurut Johnson (1991:16) istilah professional dan
professionalisasi, Pertama, dipergunakan untuk menunjuk pada perubahan besar
dalam struktur pekerjaan, dengan jumlah pekerjaan-pekerjaan professional, atau
bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white collar jobs) yang meningkat secara
relative dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, baik sebagai akibat
perluasan kelompok pekerjaan yang sudah ada ataupun sebagai akibat munculnya
pekerjaan-pekerjaan baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan dalam arti yang
hampir sama dengan peningkatan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengupayakan
adanya pengaturan rekrutmen dan praktek dalam bidang pekerjaan tertentu.
Ketiga, memandang professionalisasi sebagai suatu proses yang jauh lebih rumit
yang menunjuk pada suatu pekerjaan dengan sejumlah atribut prinsip-prinsip
professional yang merupakan unsur-unsur pokok profesionalisme. Keempat,
menunjuk pada suatu proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu pekerjaan
dengan tahap-tahap perubahan organisatoris yang dapat diramalkan menuju bentuk
akhir profesionalisme.
2.2 Karekteristik Ideal Birokrasi
Ilmuwan yang sangat
berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog
jerman yang juga ahli hukum. Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi
memiliki karakteristik ideal sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
1) Pembagian Kerja/ Spesialisasi
(division of labor)
Dalam
menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan
menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang
khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi.
Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa
dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya
masing-masing sehingga tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan
efisien.
2) Sistem
peraturan (system of rules)
Fungsi utama peraturan yang ditetapkan
dalam sesebuah organisasi ialah untuk mempermudahkan standardisasi, dengan
adanya proses ini banyak perkara diselesaikan secara seragam. Sebagai contohnya
jika seseorang pekerja dikenakan potongan gaji sebagai hukuman kerana bercuti
tanpa makluman pihak atasan, maka hukuman tersebut mestilah sama dengan pekerja
lain yang melakukan kesalahan yang sama. Sistem peraturan yang distandarkan ini
juga dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam menjalankan setiap
tugas, tanpa memandang jumlah
personil yang melaksanakan dan koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda,
dimana peraturan tersebut menentukan tanggungjawab, peranan dan bidang tugas
bagi setiap anggota dan hubungan diantara mereka.
3) Adanya
bidang kecekapan khusus
Hal ini berkaitan dengan bidang kewajiban
tugas yang ada pada seorang pekerja, tujuannya untuk menjalankan berbagai
fungsi yang sistematik. Dalam menjalankan tugas, organisasi birokrasi
membagikan kegiatan-kegiatan menjadi bagian-bagian yang masing-masing mempunyai
fungsi khusus dan berbeda dengan fungsi bagian lain. Sebagai contohnya dalam
sesebuah organisasi, bagian kewangan secara khususnya berfungsi untuk membuat
ramalan keperluan dana, mendapatkan dana untuk organisasi, menguruskan dana
tersebut dan memastikan dana digunakan dengan cara terbaik, bagian sumber
manusia pula fungsi khususnya ialah untuk melakukan pengambilan tenaga kerja,
melaksanakan latihan dan pembangunan, membuat penilaian prestasi dan sebagainya
lagi yang berkaitan dengan sumber manusia.
4)
Susunan jabatan
berdasarkan prinsip hierarki (the principle of hierarchi)
Setiap
jabatan yang tingkatnya lebih rendah dalam hierarki adalah di bawah
pengendalian dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Tujuannya untuk
memastikan setiap jabatan dikendalikan secara sistematik oleh jabatan tertentu
yang lain. Dalam hierarki itu setiap jabatan harus bertanggungjawab kepada
atasannya berkenaan keputusan dan tindakannya sendiri ataupun apa yang
dilakukan oleh anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, setiap jabatan
memiliki hak memberi perintah dan arahan pada orang bawahannya, dan orang
bawahan pula berkewajiban untuk mematuhinya. Setiap keputusan dan
tindakan yang dibuat oleh jabatan bawahan perlu meminta persetujuaan dari pada
pihak atasan.
5)
Organisasi perulah
bebas dari setiap pengendalian luaran, maksudnya dengan pengendalian luaran ini
organisasi tidak dimonopoli oleh jabatan yang ada dalam organisasi tersebut.
Tujuannya untuk meningkatkan kebebasan organisasi tersebut. sumber-sumber yang
ada harus bebas untuk ditempatkan ditempat semula ke dalam jabatan-jabatan
sesuai dengan keperluan organisasi. Dalam hal ini dapatlah disimpulkan bahawa
jabatan tidak boleh memiliki organisasi secara rasmi.
6)
Rasionalitas dan Predictability dalam aktivitas
organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas
perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah
dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.
7)
Mampu tukar personil dalam peran organisasi yang
bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh
individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas
organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu
yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
2.3 Konsep Perilaku Birokrasi
Birokrasi merupakan instrumen
penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan.
Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara
(pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh
rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan
dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya.
Untuk
itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani
kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi. Birokrasi bagi
sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan
menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif
yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku
masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam
hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut
kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.
Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi
antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik
individual mencakup persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan
motivasi (Robbins, 2003:31).
Organisasi
birokrasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pelayanan dan perlindungan
masyarakat mempunyai karakteristik adanya hirarki, tugas, wewenang,
tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002). Salah satu
fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum
sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur negara (aparatur
birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat menjadi alat yang
efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan
tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan pembangunan secara lancar dan
penyelenggaraan pelayanan umum (masyarakat) dengan dilandasi semangat dan sikap
pengabdian kepada masyarakat.
Kajian
lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja
pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi tradisional
(Parhusip, 2006). Ini dikarenakan : (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan
sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap
birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah (2) Peran birokrasi masih
menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu,
ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu
aspek yang sangat menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang
mempengaruhi baik dan buruknya penampilan birokrasi. Saat ini perilaku
birokrasi lebih dikesankan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan
fungsi birokrasi sebagai perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada
masyarakat.
2.4 Pentingnya Manajemen Birokrasi
Profesional dalam Pelayanan Publik
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi
pada masyarakat modern benar-benar dipandang memperihatinkan, sehingga
digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya
praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap
sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka
dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan Meyer, 2000: 3).
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat
patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under
producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol
dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat
rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai
penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Ada kecenderungan bahwa
beberapa indikator birokrasi lebih bergaya hidup di dunia barat dari pada di
dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah
berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan
seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat
industri. Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan
gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi
masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi
rasional di dalamnya.
Menurut Islamy
(1998:7), terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami
organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang
kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative
engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambahnya unit-unit birokrasi
publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran)
yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat
birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin,
tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah
beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Sehingga dalam hal ini
organisasi birokrasi perlu memberikan
pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya
jika strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Sebab,
dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah
mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat,
sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang
diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya
organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang
benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan
(competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Dengan demikian, manajemen strategi
pelayanan publik yang profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal
governance yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis
maupun praktis. Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu
menghilangkan praktek-praktek birokrasi yang negative seperti struktur
birokrasi yang hierarkhikal yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal
(high cost economy) dari pada keuntungan yang diperolehnya, rendahnya inisiatif
dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya
meritokratis) dan in-efesiensi.
2.5 Pelayanan Birokrasi yang
Profesional
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai
yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi
publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
1.
Efisiensi : Nilai efisiensi artinya tidak boros.
Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka
efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana
publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil
yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap
anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu,
perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan
dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada
organisasi”.
2.
Efektifitas : Apakah tujuan dan didirikannya
organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya
dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen
pembangunan.
3.
Membedakan milik pribadi dengan milik kantor :
Nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik
kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk
kepentingan pribadi.
4.
Impersonal : Maksudnya hubungan impersonal perlu
ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan dari pada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
selayaknya mendapat penghargaan.
5.
Merytal system : Nilai ini berkaitan dengan
rekrutmen atau promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi
pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience),
sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan
profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
6.
Responsible : Nilai ini berkaitan dengan
pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client,
peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh
kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi
yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang
baik dan profesional.
7.
Accountable : Nilai ini diartikan
sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang
dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan
dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya.
Jadi pemahaman akuntabilitas birokrasi adalah pertanggung jawaban kinerja
birokrat dalam fungsinya yang sebenarnya dalam melakukan public service atau
pelayanan publik dalam rangka pemenuhan data administratif masyarakat dimana
birokrasi lepas dari kepentingan pribadinya dan hal-hal lainnya yang dapat
menghalangi kelancaran pelayanan publik.
8.
Responsiveness : Kemampuan birokrasi untuk
rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-progrm pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat juga
berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang
menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat dan berusaha untuk
memenuhinya. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila
mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan,
masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
9.
Netralistas birokrasi
: mencerminkan profesionalitas birokrasi. Karena birokrasi senantiasa terlibat
dalam kegiatan sistem politik, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka
akan ditemukannya penyelewengan-penyelewengan dalam kegiatan birokrasi.
Penyelewengan tersebut akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan
bermasyarakat, maka perlu dilakukan pembenahan dalam kinerja birokrasi, supaya
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dapat dihilangkan. Proses bagaiamana
mengatasi penyelewengan tersebut dikenal dengan istilah netralitas birokrasi.
Upaya yang dapat dilakukan dalam menghilangkan penyelewengan para birokrat yang
merugikan masyarakat.
Selanjutnya menurut Widodo (2001:270-271),
pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur
pemerintah). Ciri-cirinya yaitu:
1. Efektif yakni lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan
dan sasaran.
2. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat pengguna layanan.
3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
1.
prosedur tata cara pelayanan;
2.
persyaratan pelayanan, baik teknis maupun
persyaratan administratif;
3.
unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan,
4.
rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara
pembayarannya, dan
5.
jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
6.
Keterbukaan mengandung arti prosedur/tatacara
persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
7.
Efisiensi mengandung arti:
1. persyaratan pelayanan hanya
dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan
dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan;
2. dicegah adanya pengulangan
pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
3. Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang
menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani, dan
5. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami
tumbuh kembang.
2.6
Peranan Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan
batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan
bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya
manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan
cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya
organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap
organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan
keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya;
membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan
pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk
dalam keseharian.
Tetapi dalam hal ini birokrasi sering dipandang buruk, seperti
birokrasi yang ada di Indonesia. Sehingga birokrasi di Indonesia perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya
antara lain :
(a)
birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada
hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan;
(b)
birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas
yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat);
(c)
birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan system dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan
cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi
biaya dan ketepatan waktu;
(d)
birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada
sebagai agen pembaharu pembangunan;
(e)
birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya
lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
2.7
Langkah Menuju Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat
implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha
serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa
poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju
reformasi birokrasi yaitu :
1.
Meluruskan orientasi, Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi
dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat
karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2.
Memperkuat komitmen, Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini
persyaratan penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk
berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk
memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada peningkatan
kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang
membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3.
Membangun kultur baru, sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika
birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode
etiknya.
4.
Rasionalisasi, Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak
efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan
agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan
serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat,
termasuk kemajuan teknologi informasi.
5.
Memperkuat payung hukum, Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan
aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam
menjalankan perubahan- perubahan
6.
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, Semua upaya reformasi birokrasi tidak
akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang
handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia
(SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem
penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7.
Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu
dilakukan:
BAB III
KESIMPULAN
Birokrasi merupakan system
pemerintah yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah berlandaskan
hierarki dan jenjang jabatan. Yag dimana tujuannya melaksanakan kegiatan dan
program demi tercapainya visi dan misi pemerintah dan negara, melayani
masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan professional, menjalankan
manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan, evaluasi,
koordinasi, sinkronisasi dll.
Birokrasi
merupakan lembaga yang membuat dan melaksanakan kebijakannya harus profesional,
sehingga mampu memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa membedakan aliran
politik, suku, agama, dan lain sebagainya.
Birokrasi dikatakan profesional
apabila pelayanan publik memberikan tugas dan wewenannya dengan efisien,
efektif, reponsible (bersikap adil, tidak membeda – bedakan klien) dan memegang
teguh kode etik sebagai pelayan publik.