Kamis, 04 Desember 2014

ANALISIS & STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN PERSEDIAAN (PSAK 14)



PENDAHULUAN

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 14 tentang Persediaan disetujui dalam Rapat Komite Prinsip Akuntansi Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1994 dan telah disahkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia pada tanggal 7 September 1 994.
Namun, PSAK tidak wajib diterapkan untuk unsur yang tidak material (immaterial items) dan tidak berlaku untuk hal-hal berikut (paragraf 2)
a.     Pekerjaan konstruksi dalam proses berdasarkan PSAK 34 Kontrak Konstruksi dan
b.     Instrumen keuangan berdasarkan PSAK 55 Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran.

Dalam PSAK 14 (Revisi 2008) dinyatakan juga bahwa ruang lingkup PSAK 14 tidak termasuk didalamnya persediaan yang terkait dengan real estate yang diatur dalam PSAK 44 Akuntansi Aktifitas Pengembangan Reale Estate dan aset biolojik yang terkait dengan kehutanan yang diatur dalam PSAK 32 Akuntansi Kehutanan.
PSAK 14 juga tidak berlaku untuk pengukuran persediaan yang dimiliki oleh (paragraf 3) realisasi neto-NRB commodity broker-trader yang mengukur persediaan mereka pada nilai wajar dikurangi biaya penjualan
            PSAK 14 wajib diterapkan untuk periode tahunan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 januari 2009.
TUJUAN
Tujuan Pernyataan ini adalah untuk merumuskan perlakuan akuntansi untuk persediaan menurut sistem biaya historis. Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah jumlah biaya yang harus diakui sebagai aktiva dan konversi selanjutnya sampai pendapatan yang bersangkutan diakui. Pernyataan ini menyediakan pedoman praktis dalam penentuan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunannya menjadi nilai realisasi bersih (net realisable value). Pernyataan ini juga menyediakan pedoman rumus biaya yang digunakan untuk membebankan biaya pada persediaan.
DEFINISI
Berikut adalah pengertian istilah yang digunakan dalam Pernyataan ini, Persediaan adalah aktiva :

(a)        tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal;

(b)       dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; atau

(c)        dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.

Persediaan perusahaan dagang terdiri atas barang yang diperoleh untuk dijual kembali sedangkan persediaaan perusahaan manufaktur terdiri atas barang jadi, pekerjaan dalam proses, bahan baku dan perlengkapan pabrik. Dengan demikian asset tidak lancar dapat diartikan ‘dikonsumsi dalam proses produksi’, tidak diperlakukan sebagai bagian dari persediaan.
Nilai wajar adalah jumlah suatu aset dipertukarkan, atau liabilitas diselesaikan, antara pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan yang memadai dalam suatu transaksi yang wajar.
Nilai realisasi bersih adalah taksiran harga penjualan dalam kegiatan usaha normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan taksiran biaya yang diperlukan untuk melaksanakan penjualan.

PERSEDIAAN DAN HARGA POKOK PENJUALAN
           
Penentuan nilai persediaan di akhir tahun buku akan berpengaruh secara langsung terhadap penentuan harga pokok penjualan selama tahun tersebut, jika terdapat kesalahan penyajian nilai persediaan akhir maka akan menyebabkan kesalahan penyajian harga pokok penjualan dan juga kesalahan penyajian hasil operasi.

Sistem Persediaan Periodik
            Dalam sistem ini, nilai persediaan akhir ditentukan melalui pemeriksaan stok fisik. Nilai barang dijual selama tahun berjalan kemudian dihitung dengan rumus
Harga pokok penjualan = nilai pers. awal + biaya barang yg dibeli/dibuat – nilai pers. akhir

Sistem Persediaan Perpetual
            Dalam sistem ini, biaya persediaan akhir dan harga pokok penjualan selama tahun berjalan dapat ditentukan secara langsung dari catatan akuntansi. Jika ada ketidakcocokan antara biaya persediaan pada catatan akuntansi dan nilai persediaan yang ditentukan melalui pemeriksaan stok fisik, maka jumlah persediaan pada catatan akuntansi harus disesuaikan. Harga pokok penjualan pada catatan akuntansi juga harus disesuaikan.


KUANTITAS FISIK

            Variabel penting dalam penentuan nilai persediaan adalah kuantitas/jumlah fisik dari persediaan yang dimiliki. Kuantitas fisik ditentukan melalui pemeriksaan stok fisik, sebagaimana disyaratkan oleh panduan audit. Berikut dua ilustrasi barang konsinyasi dan barang transito untuk memperjelas pembahasan diatas.

Barang Konsinyasi
Perusahaan manufaktur sering melakukan praktik komersial mengirimkan barang mereka kepada pedagang grosir secara konsinyasi. Untuk barang konsinyasi, meskipun secara fisik berada ditangan penerima barang, pengirim barang tetap menjadi pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, barang konsinyasi meskipun disimpan oleh penerima barang tidak boleh dimasukkan kedalam persediaan barang fisik penerima barang, melainkan harus dimasukkan ke dalam persediaan pengirim barang.

Barang Transito
Barang transito harus dimasukkan ke dalam persediaan suatu entitas pemilik sahnya. Jika barang itu dijual secara FOB shipping point, kepemilikan barang itu berubah pada saat pengiriman. Dengan demikian, barang FOB shipping point dan barang transito harus dimasukkan ke dalam persediaan pembeli. Jika barang itu dijual secara FOB destination, maka kepemilikan barang berubah hanya pada saat tiba di tujuan dan harus dimasukkan kedalam persediaan penjual.

PENGUKURAN PERSEDIAAN
PSAK 14 mengatur bahwa “persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi netto, mana yang lebih rendah” (paragraf 8). Dengan demikian, dalam menentukan persediaan baik biaya maupun nilai realisasi netto harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu buat perbandingan, nilai terendah dari keduanya digunakan sebagai nilai persediaan.

Biaya
Biaya persediaan ditentukan melalui dua proses :
a.     Menentukan biaya pembelian/pembuatan barang dan
b.     Mengalokasikan jumlah nilai persediaan awal dan biaya pembelian/pembuatan barang ke biaya persediaan akhir dan harga pokok, penjualan dengan menggunakan rumus biaya.
Biaya Persediaan
Biaya persediaan meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi dan biaya lain yang timbul hingga persediaan berada dalam kondisi dan tempat yang siap dijual atau dipakai
a.     Perusahaan Dagang
Untuk perusahaan dagang, biaya persediaan hanya mencakup biaya pembelian. Istilah “biaya pembelian” didefinisikan dalam PSAK 14 meliputi harga pembelian, bea import dan pajak lainnya, biaya transportasi, biaya penanganan dan biaya lainnya yang dapat diatribusikan secara langsung pada pembelian dikurangi diskonto, rabat dan subsidi (paragraf 10) bila suatu entitas membeli persediaan dengan perjanjian penangguhan pembayaran, PSAK 14 mengatur bahwa unsur bunga harus diperlakukan bukan sebagai bagian dari biaya persediaan namun sebagai beban pendanaan (paragraf 17)

b.     Perusahaan Manufaktur
Untuk perusahaan manufaktur, biaya persediaan tidak hanya mencakup biaya pembelian tetapi juga biaya konversi yang mencakup biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan unit yang diproduksi seperti bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung

c.      Alokasi biaya overhead produksi tetap
PSAK 14 mengatur bahwa alokasi biaya overhead produksi tetap untuk biaya konversi harus berdasarkan kapasitas normal fasilitas produksi (paragraf 12) tingkat produksi aktual dapat dapat digunakan jika mendekati kapasitas normal.

d.     Perlakuan untuk jumlah pemborosan yang tidak normal
PSAK 14 mengatur bahwa jumlah pemborosan yang tidak normal, yang tidak berkontribusi untuk membawa persediaan ke lokasi dan kondisi sekarang, tidak boleh dimasukkan ke dalam persediaan (paragraf 15).

e.     Overhead lainnya
Overhead selain dari overhead produksi dapat atau tidak dapat dimasukkan kedalam persediaan, tergantung apakah overhead tersebut dibebankan untuk membawa persediaan ke lokasi dan kondisi sekarang (paragraf 14)

f.       Biaya penyimpanan
Jika diperlukan dalam proses rproduksi sebelum tahap produksi berikutnya, maka biaya penyimpanan harus dimasukkan ke dalam persediaan (paragraf 15)

g.     Produk bersama dan produk sampingan
Untuk produk bersama PSAK 14 mensyaratkan bahwa biaya produk bersama dialokasikan untuk produk bersama secara rasional dan konsisten (paragraf 13) sedangkan untuk produk sampingan PSAK 14 mengatur bahwa produk sampingan harus diukur pada nilai realisasi netto dan jumlahnya dikurangi dari biaya produksi utama (paragraf 13)

Rumus biaya
Setelah biaya pembelian ditentukan, langkah berikutnya adalah mengalokasikan jumlah harga pokok penjualan tahun berjalan dan biaya persediaan yang dimiliki di akhir tahun. Hal ini memerlukan pemilihan suatu rumus biaya. PSAK 14 mensyaratkan hal-hal berikut :
·       Penggunaan metode identifikasi khusus untuk memperhitungkan biaya persediaan untuk barang yang lazimnya tidak dapat diganti dengan barang lain serta untuk barang yang diproduksi dan dipisahkan untuk proyek khusus (paragraf 22)
·       Penggunaan rumus FIFO atau rata-rata tertimbang untuk barang selain dari yang diatur oleh paragraf 23 (paragraf 23)

a.     Rumus FIFO
Metode FIFO mengalokasikan biaya untuk barang terjual dan persediaan dengan asumsi bahwa barang terjual dengan urutan serupa ketika dibeli, sehingga barang yang pertama dibeli akan lebih dulu dijual.

b.     Rumus Biaya Rata-rata Tertimbang
Metode biaya rata-rata tertimbang didasarkan pada asumsi bahwa seluruh barang tercampur sehingga mustahil untuk menentukan barang mana yang terjual dan barang mana yang tertahan di persediaan.

c.      Rumus LIFO
Metode LIFO biaya dialokasikan dengan asumsi bahwa barang yang terakhir dibeli akan dijual lebih dulu.

d.     Metode Persediaan Dasar
Metode persediaan dasar didasarkan pada asumsi bahwa setiap entitas akan tetap memiliki sejumlah minimum persediaan yang sifatnya dianggap sama dengan asset tetap/berwujud.

NILAI REALISASI NETTO
Nilai realisasi netto didefinisikan dalam PSAK 14 sebagai “estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan” (paragraf 5)
Untuk persediaan yang disimpan guna memenuhi kontrak penjualan produk, PSAK 14 mengatur bahwa nilai realisasi netto harus diestimasi berdasarkan harga kontrak (paragraf 29). PSAK 14 juga mengatur bahwa nilai realisasi netto suatu barang persediaan harus ditinjau kembali pada setiap periode berikutnya (paragraf 31)

NILAI TERENDAH DARI BIAYA DAN NILAI REALISASI NETTO
            Setelah biaya dan nilai realisasi neto persediaan ditentukan maka dilakukanlah perbandingan. Nilai terendah dari kedua jumlah tersebut diperlakukan sebagai nilai persediaan.
Dasar pengukuran “nilai terendah dari biaya dan nilai realisasi netto” sebagaimana disyaratkan oleh PSAK 14 konsisten dengan uji penurunan nilai untuk memastikan bahwa asset tidak dilaporkan berlebih dari jumlah yang diperkirakan dipulihkan dalam tanggal pelaporan.
            PSAK 14 mengatur bahwa perbandingan antara biaya dengan nilai realisasi netto dan penurunan nilai persediaan dengan nilai realisasi netto harus dilakukan berdasarkam item by item (paragraf 27)

PERSYARATAN PENGUNGKAPAN

PSAK 14 mensyaratkan pengungkapan hal-hal berikut (paragraf 34)
·       Kebijakan akuntansi yang diterapkan dalam penilaian persediaan, termasuk rumus biaya yang digunakan
·       Jumlah nilai tercatat dari persediaan
·       Nilai tercatat dari subklasifikasi persediaan. Subklasifikasi ini lazimnya disajikan dalam catatan atas laporan keuangan
·       Nilai tercatat dari persediaan yang dicatat pada nila wajar dikurangi biaya penjualan terutama untuk pialang komoditas dan produsen hasil pertanian primer
·       Jumlah harga pokok penjualan
·       Jumlah pemulihan dan keadaan atau peristiwa yang menyebabkan pemulihan, bila persediaan yang sebelumnya nilainya diturunkan disajikan ulang pada nilai tercatat baru sesuai dengan ketentuan paragraf 34 entitas juga harus menjelaskan kondisi dan peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang diturunkan nilainya
·       Nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan liabilitas.

PERBEDAAN DENGAN STANDAR IASB

PSAK 14 dibuat berdasarkan IAS Inventories yang dikeluarkan oleh IASB. Tidak ada perbedaan signifikan antara PSAK 14 dan IAS 2, kecuali ruang lingkup PSAK 14 yang tidak mengecualikan produk agrikultur karena IAS 41 Agriculture belum diadopsi. Dengan demikian perusahaan yang memiliki persediaan asset biolojik seperti hewan ternak dapat menggunakan PSAK ini

Contoh - contoh
a)     Perusahaan dagang
Diasumsikan bahwa PT ETW mengimpor mobil buatan Korea untuk dijual kembali di Indonesia. Diasumsikan bahwa harga eceran mobil itu sebesar Rp 20.000.000, dengan diskon penjualan 5%. Bea impornya sebesar 100% dari harga beli neto dan perusahaan membebankan biaya transportasi untuk setiap mobil sebesar Rp 100.000 dan biaya asuransi sebesar Rp 200.000. Dengan demikian, biaya persediaan untuk masing-masing mobil adalah sebesar Rp 38.300.000 (harga pembelian Rp 20.000.000 dikurangi diskon Rp 1.000.000 ditambah bea impor Rp 19.000.000 ditambah biaya transportasi Rp 100.000 ditambah biaya asuransi Rp 200.000).
PT ETW membeli suku cadang kendaraan dari perusahaan lokal. Suatu suku cadang dibeli seharga Rp 1.000.000, yang dapat dibayar 1 tahun setelah tanggal pembelian. Dengan suku bunga efektif 10%, biaya pembelian persediaan adalah sebesar Rp 909.000 dan sisa Rp 91.000 harus diperlakukan sebagai beban bunga

b)     Perusahaan manufaktur
Diasumsikan bahwa PT ETW adalah perusahaan pembuat furnitur dan bahwa untuk masing-masing kursi yang dibuatnya, perusahaan membebankan biaya kayu Rp 50.000, biaya tenaga kerja Rp 150.000 dan alokasi biaya overhead pabrik Rp 30.000. dengan demikian, biaya pembuatan kursi adalah Rp 230.000 (Rp 50.000 + Rp 150.000 + Rp 30.000)

c)      Alokasi biaya overhead produksi tetap
Diasumsikan bahwa kapasitas normal pabrik PT ETW adalah 10.000 unit keluaran. Jika jumlah biaya overhead produksi tetap selama setahun sebesar Rp 1 miliar, maka jumlah biaya overhead produksi tetap yang akan dialokasikan untuk masing-masing unit keluaran adalah sebesar Rp 10.000
Diasumsikan bahwa untuk tahun yang relevan. Produksi pabrik hanya mencapai 70.000 unit. Dalam contoh ini, PSAK 14 mengatur bahwa besar alokasi harus tetap sebesar Rp 10.000 per unit, sehingga hanya Rp 700.000.000 dari biaya overhead produksi tetap yang dimasukkan ke dalam persediaan. Sisa sebesar Rp 300.000.000 dihapuskan sebagai rugi tahun berjalan.
Di lain pihak, jika produksi tahun berikutnya mencapai 125.000 unit maka besar alokasi harus diturunkan menjadi Rp 8.000 per unit produksi, sehingga hanya Rp 1 miliar dari biaya overhead produksi tetap yang dimasukkan ke dalam persediaan. Jika besar alokasi itu tidak diturunkan sebesar tetap Rp 10.000 per unit, jumlah biaya overhead produksi tetap yang dimasukkan ke dalam persediaan (Rp 1,2 miliar) akan melebihi biaya yang dibebankan (Rp 1 miliar) dan persediaan akan diukur melebihi biaya

d)     Perlakuan untuk jumlah pemborosan yang tidak normal
Diasumsikan bahwa PT ETW adalah perusahaan pembuat furniture. Diasumsikan pula bahwa untuk bulan Januari 20X5, sejumlah besar bahan kayu tidak dapat digunakan karena kerusakan mesin. Dalam contoh ini, biaya kayu dan biaya terkait yang dibebankan tidak boleh dimasukkan ke dalam persediaan, melainkan dihapus sebagai rugi tahun berjalan

e)     Produk bersama dan produk sampingan
Diasumsikan bahwa PT ETW adalah perusahaan pembuat produk olahan dari buah nanas. Diasumsikan pula bahwa untuk tahun 20X1, biaya buah nanas yang digunakan ditambah biaya konversi bersama lainnya sebesar Rp 100.500.000. Tiga produk dihasilkan
-        Potongan kubus nanas (nilai jual Rp 120.000.000 setelah identifikasi terpisah)
-        Jus nanas (nilai jual Rp 80.000 setelah identifikasi terpisah)
-        Kulia nanas yang dapat dijual sebagai pakan ternak dengan estimasi nilai realisasi neto sebesar Rp 500.000
Dalam contoh ini, kulit nanas (produk sampingan, karena nilainya yang rendah) akan meneriman alokasi biaya sebesar Rp 500.000 (sama dengan nilai realisasi netonya), sedangkan sisa biaya bersama sebesar Rp 100.000.000 akan dialokasikan untuk kedua produk bersama sebagai berikut :
Kubus nanas Rp 60.000.000 (Rp 100.000.000 x Rp 120.000.000/Rp 200.000.000)
Jus nanas Rp 40.000.000 (Rp 100.000.000 x Rp 80.000.000/Rp 20.000.000)

f)      Rumus biaya
Diasumsikan bahwa PT C&C dealer mobil, memiliki berbagai jenis mobil dalam persediaannya untuk dijual kembali, selain suku cadang mobil untuk usaha reparasi dan perawatannya.
Jika PT ETW menerapkan metode FIFO dalam menentukan biaya persediaan mobilnya yang dimiliki untuk dijual kembali, maka PT ETW disyaratkan menerapkan metode FIFO untuk menetukan seluruh model persediaan mobilnya.
Namun untuk menentukan biaya persediaan suku cadang mpbilnya, PT ETW dapat menerapkan metode biaya yang berbeda, misalnya metode rata-rata tertimbang.

*sebagai perbandingan, berikut ini disajikan metode LIFO dan metode persediaan dasar namun tidak diperkenankan oleh PSAK 14

Berikut asumsi informasi untuk PT ETW
Persediaan awal pada tanggal
1 Januari 20X8                                                2.000 unit seharga Rp 10.000 per unit
Pembelian :
            Tanggal 1 Februari 20X8        2.000 unit seharga Rp 11.000 per unit
            Tanggal 1 Mei 20X8                2.000 unit seharga Rp 12.000 per unit
            Tanggal 1 Agustus 20X8         2.000 unit seharga Rp 13.000 per unit
            Tanggal 1 November 20X8     2.000 unit seharga Rp 14.000 per unit
Penjualan :
            Tanggal 10 Maret 20X8          2.500 unit
            Tanggal 10 Juli 20X8               1.500 unit
            Tanggal 10 Desember 20X8   3.000 unit
Persediaan akhir :
            Pada tanggal 31 Desember 20X8       3.000 unit

Data diatas menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 10.000 unit barang tersedia untuk dijual, dengan 7.000 unti dari jumlah itu telah terjual selama tahun berjalan dan 3.000 unit lagi tersisa pada akhir tahun. Hal yang harus dilakukan adalah membagi rata jumlah biaya sebesar Rp 120.000.000 [(2.000 x Rp 10.000) + (2.000 x Rp 11.000) + (2.000 x Rp 12.000) + (2.000 x Rp 13.000) + (2.000 x Rp 14.000)] untuk ke 7.000 unti terjual sebagai harga pokok penjualan dan untuk ke 3.000 unit yang dimiliki sebagai biaya persediaan akhir.

g)     Rumus FIFO
Dalam metode FIFO, persediaan akhir PT ETW pada ilustrasi sebelumnya diasumsikan terdiri atas 2.000 unt barang yang dibeli pada tanggal 1 November 20X8 dan 1.000 unit lainnya dari barang yang dibeli pada tanggal 1 Agustus 20X8. Dengan demikian, biaya persediaan akhir adalah sebesar Rp 41.000.000 [(2.000 x Rp 14.000) + ( 1.000 x Rp 13.000)]. Rumus FIFO akan memberikan hasil yang sama tanpa memandang apakah sistem persediaan berkala atau perpetual yang digunakan

h)     Rumus biaya rata-rata tertimbang
Dengan menggunakan rumus biaya rata-rata tertimbang, perhitungan biaya persediaan akhir PT ETW dalam sistem persediaan berkala adalah sebagai berikut
Jumlah biaya barang tersedia untuk dijual = Rp 120.000.000
Jumlah unit barang tersedia untuk dijual    = 10.000
Harga unit                                                      = Rp 12.000
Biaya persediaan akhir                                  = Rp 36.000.000

Jika sistem yang dipakai adalah sistem persediaan perpetual, maka metode ini akan menghasilkan rata-rata tertimbang berubah. Dengan menggunakan data diatas, biaya persediaan akhir PT ETW dalam sistem persediaan perpetual adalah sebagai berikut

                                               


Unit           Biaya            Jumlah                     Rata-rata
                   Unit               Biaya                                 tertimbang
                  (Rp)                (Rp)                                      (Rp)
Perssediaan tanggal 1/1/X8               2.000       10.000        20.000.000
Pembelian 1/2/X8                              2.000        11.000        22.000.000
Subtotal                                              4.000                           42.000.000                   10,50
Penjualan 10/3/X8                           (2.500)       10.500       (26.000.000)
Saldo                                                   1.500                           15.750.000
Pembelian 1/5/X8                              2.000        12.000        24.000.000
Subtotal                                              3.500                           39.750.000                   11,36
Penjualan 10/7/X8                            (1.500)        11.360      (17.040.000)
Saldo                                                   2.000                           22.710.000
Pembelian 1/8/X8                              2.000         13.000       26.000.000
Pembelian 1/11/X8                            2.000         14.000       28.000.000
Subtotal                                              6.000                           76.710.000                   12,785
Penjualan 10/12/X8                          (3.000)        12.785      (38.355.000)
Persediaan tanggal 31/12/X8                        3.000                           38.355.000

i)       Rumus LIFO
Berdasarkan pada ilustrasi diatas dan dengan asumsi sistem yang digunakan adalah sistem persediaan berkala, persediaan akhir PT ETW terdiri atas 2.000 unit barang dari persediaan awal dan 1.000 unit dari pembelianpada tanggal 1 Februari 20X8.  Dan Biaya persediaan akhir dengan demikian sebesar Rp 31.000.000
Dalam sistem persediaan perpetual, persediaan akhir terdiri atas 1.500 unit dari persediaan awal, 500 unit dari pembelian pada tanggal 1 Mei 20X8 dan 1.000 unit lainnya dari pembelian pada tanggal 1 Agustus 20X8. Dengan demikian, biaya persediaan akhir dalam sistem ini adalah sebesar Rp 34.000.000

j)       Metode persediaan dasar
Berdasarkan pada ilustrasi sebelumnya dan dengan asumsi bahwa persediaan dasar 1.500 unit senilai Rp 8.000 per unit, makan biaya persediaan akhir PT ETW pada tanggal 31 Desember 20X8 dihitung sebagai berikut (dengan asumsi biaya persediaan berlebih sebanyak 1.500 unit dihitung dengan rumus FIFO)
Persediaan dasar       : 1.500 unit @ Rp 8.000         Rp 12.000.000
Persediaan berlebih   : 1.500 unit @ Rp 14.000       Rp 21.000.000
Biaya persediaan 31 Desember 20X8                                    Rp 33.000.000

k)     Nilai terendah dari biaya dan nilai realisasi neto
Diasumsikan bahwa persediaan akhir PT ETW pada tanggal 31 Desember 20X8 terdiri atas barang-barang dalam dua lini usaha sebagai berikut :
              


                 Biaya                           NRB
Usaha 1
            Barang A                                 Rp 190.000                  Rp 170.000
            Barang B                                 Rp 180.000                  Rp 190.000
Barang C                                 Rp 130.000                  Rp 100.000
Usaha 2
                        Barang D                                 Rp 100.000                  Rp 140.000
                        Barang E                                 Rp 170.000                  Rp 150.000

Tabel berikut menunjukkan bahwa perhitungan nilaipersediaan berdasarkan :
(i)     Item by item
(ii) kelas usaha
(iii) keseluruhan persediaan

Usaha 1
            Barang A         Rp 190.000      Rp 170.000      Rp 170.000
            Barang B         Rp 180.000      Rp 190.000      Rp 180.000
            Barang C         Rp 130.000      Rp 100.000      Rp 100.000
Subtotal                      Rp 500.000      Rp 460.000                              Rp 460.000

Usaha 2
            Barang D         Rp 100.000      Rp 140.000      Rp 100.000
            Barang E         Rp 170.000      Rp 150.000      Rp 150.000
Subtotal                      Rp 270.000      Rp 290.000                              Rp 270.000
Total                           Rp 770.000      Rp750.000       Rp700.000       Rp 730.000     Rp 750.000

Dengan demikian, penurunan nilai persediaan menjadi nilai realisasi neto secara item by item akan menghasilkan nilai persediaan sebesar Rp 700.000. berdasarkan kelas usaha dan keseluruhan persediaan, nilai persediaan ditetapkan masing-masing sebesar Rp 730.000 dan rp 750.000. berdasarkan PSAK 14, persediaam akhir ETW harus dilaporkan pada jumlah Rp 700.000.

* Ilustrasi berikut memperlihatkan cara penurunan nilai persediaan berdasarkan jenis persediaan, jenis usaha atau berdasarkan hasil keseluruhan saling hapus rugi yang dibebankan pada untung belum pasti

Berdasarkan data pada ilustrasi sebelumnya, rugi dibebankan dan untung belum pasti untuk masing-masing barang persediaan dapat dihitung sebagai berikut





Usaha 1
   Barang A                  Rp 190.000         Rp 170.000       Rp 20.000
   Barang B                  Rp 180.000         Rp 190.000                              Rp 10.000
   Barang C                  Rp 130.000         Rp 100.000       Rp 30.000
Usaha 2
   Barang D                  Rp 100.000         Rp 140.000                              Rp 40.000
   Barang E                  Rp 170.000         Rp 150.000       Rp 20.000   
Total                           Rp 770.000         Rp 750.000       Rp 70.000       Rp 50.000

Jumlah sebesar Rp 700.000 yang diperoleh dengan menurunkan nilai persediaan item by item juga dapat diperoleh dengan mengurangkan seluruh rugi dibebankan sebesar Rp 70.000 dari biaya historis sebesar Rp 770.000.
Dilain pihak, jumlah sebesar Rp 750.000 yang diperoleh denga metode keseluruhan persediaan sama dengan biaya historis sebesar Rp 770.000 dikurangi rugi dibebankan sebesar Rp 70.000 ditambah untung belum pasti sebesar Rp 50.000.
Selain itu, jumlah sebesar Rp 730.000 yang diperoleh dengan metode jenis usaha sama dengan biaya historis sebesar Rp 770.000 dikurangi rugi dibebankan sebesar Rp 50.000 ditambah untung belum pasti sebesar Rp 10.000
Dengan demikian, dalam menentukan nilai terendah biaya dan nilai realisai neto persediaaan, secara item by item hanya rugi dibebankan yang diperhitungkan. Namun, dengan metode kelas usaha dan keseluruhan persediaan, rugi dibebankan saling hapus oleh untung belum pasti dan dengan metode kelas usaha sebagian dari rugi kemungkinan tidak diperhitungkan.

l) Penyajian ulang usaha
     Diasumsikan bahwa PT ETW membeli sejumlah persediaan seharga Rp 100.000 pada bulan oktober 20X1. Diasumsikan pula bahwa pada akhir tahun keuangan perusahaan , persediaan tersebut masih dimiliki dan nilai realisasi netonya diestimasi sebesar Rp 70.000
Dalam contoh ini, untuk laporan keuangan tahun 20X1, nilai persediaan tersebut harus diturunkan dan dicatat pada nilai Rp 70.000
Diasumsikan lebih lanjut bahwa persediaan tersebut masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 20X2 dan nilai realisasinya netonya kini diestimasi sebesar Rp 90.000. sesuai dengan ketentuan paragraf 34, persediaan tersebut harus disajikan ulang pada nilai tercatatnya sebesar Rp 90.000.
Jika nilai realisasi neto persediaan diestimasi sebesar Rp 110.000 pada tanggal 31 Desember 20X2, maka persediaan tersebtu menurut ketentuan paragraf 34 akan disajikan pada nilai terendah dari biaya dan nilai realisasi neto yaitu sebesar Rp 100.000




Tidak ada komentar:

Posting Komentar